Rabu, 27 Mei 2009

Menggagas Ekonomi (yang) Berke-Tuhanan

Para ahli ekonomi, seperti semua spesialis, biasanya menderita semacam penyakit buta metafisik, yaitu beranggapan bahwa ilmu merekalah yang memiliki kebenaran yang mutlak dan yang tidak berubah-ubah, tanpa prasangka apapun.              Kalimat diatas merupakan pengutaraan di satu bab buku E.F Schumacher, Small is Beautiful (1973) yang berjudul ilmu Ekonomi Agama Budha, Schumacher mengemukakan besarnya pengaruh agama Budha dalam kehidupan ekonomi masyarakat Birma— sekarang Myanmar. Agama Budha mempunyai tiga fungsi yang mempengaruhi terhadap ethos kerja masyarakat Birma, yaitu: memberi kesempatan kepada orang untuk mengunakan dan mengembangkan bakatnya; agar bisa mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain  untuk melaksanakan tugas bersama; dan menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan  yang layak.   Lebih jauh dalam The New Burma (1954), Birma tidak melihat ada pertentangan antara nilai-nilai  keagamanaan dengan kemajuan ekonomi. Kesejahteraan spiritual bukanlah lawan kesejahteraan material, melainkan sekutu. Ekonomi Birma merupakan suatu—analogi—sistem ekonomi yang berke-Tuhanan. Suatu ekonomi yang memandang hakekat peradaban itu bukannya di dalam berlipatgandakan kebutuhan melainkan di dalam  “memurnikan”  watak manusia. Bersamaan dengan itu, kepribadian dibentuk  oleh kerja. Dan kerja, jika dilakukan  dengan selayaknya  di dalam kondisi kebebasan  dan martabat kemanusiaan, memberi “berkah” pada mereka yang mengerjakan  dan juga pada hasil kerja mereka. Filosof J.C Kumarappa dalam menanggapi fenomena ekonomi berke-Tuhanan ini dalam Economy of Permanence (1958), mengatakan bahwa kerja mengarahkan kehendak pribadi  ke jalan yang layak  dan mengekang sifat hewani yang ada di dalam  diri manusia dan menyalurkan melalui saluran-saluran  yang progresif. Kerja memberikan  latar belakang yang mulia kepada manusia untuk memperagakan skala nilai-nilai dan mengembangkan kepribadian.Manusia sebagai aspek dominan dalam mempengaruhi sistem perekonomiaan. Manusia sangat dipengaruhi oleh “semangat mengabdi” kepada Tuhan.. Karena sesama manusia sebagai “abdi” akan berupaya memposisikan manusia sebagaimana yang lainnya—mempunyai kemampuan sama sebagai sesama abdi. Maka manusia tidak punya kewajiban mempunyai semangat mengabdi—atau tidak mempunyai hak untuk memaksa manusia lain—kepada manusia lain, karena manusia sebagai pribadi (oknum) manusia berkewajiban bertanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan. Maka dari pengertian bagi pemilik modal (pengusaha) tidak dapat mengekploitasi tenaga kerja semata-mata satu biaya yang harus ditekan serendah atau tenaga kerja bekerja seenaknya karena akan mengingkari manusia atas kehendak Tuhan—dan berdosa dan berakibat tidak di-ridhoi Tuhan .                  Selain itumanusia sebagai abdi membawa pengertian, bahwa Tuhan memberikan manusia, alam semesta untuk digunakan dalam upaya mendekatkan kepada Tuhan. Maka manusia  merupaya memelihara alam sebagai bagian memelihara dirinya dihadapan Tuhan. Maka dalam keadaan ini kehidupan menjadi suatu sistem yang integral, satu dengan yang lain saling berhubungan yang menimbulkan pengaruh positif bagi kehidupan.Bertrand de Jouvenel dalam A Philosophy of Indian Economic Development (1958) mengemukakan pentingnya hubungan  manusia dengan Tuhan terhadap alam sebagai bagian dari ekosistem di masyarakat Indian  yang terdiri dari berbagai bentuk kehidupan. Oleh karena sifat merusak sumber daya alam tidak membuat manusia menjadi terlindungi.Back to Basic            Ekonomi yang berke-Tuhanan, memberikan dorongan moral bagi manusia sebagai sumber “penentu” perekonomian. Manusia sebagai penentu perekonomian sebenarnya pernah dikemukakan oleh ajaran kapitalis dan sosialis—sebelum dilembagakan. Dalam kapitalisme ini tercantum dalam buku The Moral Sentimen (1759) karya Adam Smith dan sosialis dalam The Manuscrips (1844)  Kark Mark. Kedua buku “humanis” ini yang “hilang” dari wacana publik sehingga menyebabkan timbulnya disparitas dalam maistrem perekonomian—terutama di Indonesia—kapitalis dan sosialisme. Bahkan kedua mainstrem ini timbul dari dua buku; the Wealth of Nation (1776) karya Adam Smith dan Das Capital (1867) karya Kark Mark, sesudah mengarang buku The Moral Sentimen dan  The Manuscrips.          Manusia sebagai aspek utama merupakan awal timbulnya perkembangan ilmu ekonomi maka aspek moral sangat berpengaruh. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aspek materi lebih dominan mengatur aspek manusia. Sehingga materi akhirnya menentukan kemanusian manusia, karena harga manusia ditentukan oleh berapa materi yang dihasilkan—dalam wacana Mark disebut alieanisasi. Pergeseran ini diakibatkan orientasi ekonomi sudah terlibat jauh dalam hitungan kuantitatif, inilah yang menjadikan bahan kritik Paul Ormerod dalam the Death of Economics (1994).  Keadaan ini berbeda dengan pada yang dikemukakan Schumacher dalam perekonomian Birma atau Mac Webber di Eropa tentang etika ProtestanMax Weber, dalam sebuah penelitian membuat kesimpulan dari masyarakat Protestan di Eropa yang akhirnya memunculkan buku yang cukup terkenal The  Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1905) menunjukkan bagaimana  masyarakat protestan lebih tinggi produktifitas kerjanya dibanding masyarakat Kristen—akhirnya ajaran protestan ini ‘dituduh’memberikan legitimasi bagi semangat kapitalisme  di dunia Barat abad 16,  walaupun pada awalnya kapitalime menunjukkan semangat berke-Tuhanan dari masyarakat Protestan. Semangat masyarakat Protestan ini dipengaruhi ajaran Calvin (Calvinisme) yang mempunyai dua dasar kerja yang penting; usaha dan upaya adalah alat untuk melawan  cobaan manusiawi sehari-hari; dan dunia sebagai satu-satunya panggung untuk memuja Tuhan, artinya kebesaran Tuhan akan berkembang melalui kerja manusia. (Paul Heiz Koesters, 1988). Ajaran Calvinis dianggap sama dengan ajaran Jabariyah yaitu paham yang sangat kuat percaya akan pada takdir. Aliran Calvinisme dan Jabariah mempunyai kemiripan, percaya predeterminisme takdir itu ternyata menimbulkan sikap-sikap mental yang tangguh (Dawan Rahardjo,1999). Kalau dalam istilah Lewis dalam Theory of Economic Growth kedekatan manusia terhadap Tuhan menimbulkan suasana ”asketis” atau Zuhud atau mengurangi hasrat berkonsumsi. Lebih jauh  Mac Webber mengatakan  karena kita tidak tahu takdir kita sendiri maka  kita masing-masing berusaha mendapatkan  takdir tersebut dan masing-masing berusaha  mendapatkan takdir  tersebut dan kemudian semacam keterpanggilan terhadap kita untuk melakukan  hal-hal yang istimewa, yang bersifat mengabdi. Dari sikap mengabdi itu tumbuh sikap sederhana, sikap jujur dan dan semua itu dilakukan untuk mendapatkan keseluruhan dari Tuhan. Menurut Herber McClosky dalam Amerika Ethos (1984), Mac Webber telah menunjukkan kapitalisme menuntut adanya naluri untuk meningkatkan  kekuasaan  atau kekayaan  serta hasrat menyalurkan naluri  ke dalam nilai-nilai konstruktif seperti investasi, perhitungan ekonomi yang matang, efisiensi, penghematan, pengendalian dalam mengunakan modal, ketaatan dalam memenuhi kontrak dan kerja keras dalam melaksanakan tugas. Akhir KallamEkonomi berke-Tuhanan, atau Tauhid ekonomi atau Teo-ekonomi. lebih melibatkan manusia pada urusan “diri sendiri” sebagai makhluk Tuhan. Keterlibatan ini yang akan mempengaruhi meningkatnya ethos kerja manusia dalam melakukan pemenuhan hidupnya. Semangat berke-Tuhanan secara normatif akan memberikan  wacana baru bagi manusia, manusia akan berupa menghindari dari persoalan amoral dan asosial bukan karena alasan manusia lain tetapi karena Tuhan.Ekonomi berke-Tuhanan bukanlah suatu kritik. Tetapi kritik atas kritik manusia terhadap suatu sistem perekonomian, bukan kritik kapitalisme dan sosialisme saja—karena ekonomi berke-Tuhanan tidak terlibat secara jauh dalam kelembagaan  Ia tidak memihak pada suatu sistem ekonomi. Karena pemihakan pada suatu sistem ekonomi akan mempengaruhi eksistensi ekonomi berke-Tuhanan,  sebagai “sistem lebih dari sistem”—karena ekonomi ke-Tuhan bukanlah sistem. Karena pemihakan ekonomi berke-Tuhanan akan menyebabkan eksistensi ekonomi Ke-Tuhanan sama dengan sistem yang lain (terlembaga)—kalau terdistorsi dalam realitanya akan kena kritik juga, berarti mendistorsi Tuhan Maha Benar. Ekonomi berke-Tuhanan adalah suatu ‘sistem” yang dibentuk oleh manusia yang berke-Tuhanan. Mengabdikan pekerjannya kepada Tuhan.


Oleh : Heri Sudarsono SE., M.Sc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar