Selasa, 09 Juni 2009

Buruh dalam Perspektif Islam

PERBURUHAN PERSPEKTIF ISLAM
M. Ashikin (Ekonomi Syari'ah '06)

Mayday...Mayday...itulah sebutan untuk hari buruh internasional. Setiap tanggal 1 Mei kaum buruh turun ke jalan,menuntut hak dan perbaikan nasib. Sontak, hari itu dijadikan hari raya sekaligus momentum oleh kaum buruh untuk mengingatkan kita,bahwa nasib mereka tidak berubah sepanjang tahun. Kapitalisme sebagai sistem yang dominan merupakan dinding yang tebal. Ketika disatu sisi seorang pengusaha sedang lunch di restoran terkenal atau sang pemilik modal sedang melototi bursa saham di layar monitor,maka disisi yang lain sang buruh dengan keringat bercucuran berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.Berikut ini akan dijelaskan secara kikir sekelumit sejarah masalah perburuhan

Sekelumit Sejarah Masalah Perburuhan
Berbicara masalah perburuhan maka akan terdapat hal-hal yang sangat kompleks. Domainnya tidak hanya buruh dan pengusaha saja, tetapi juga pemerintah.Peranan pemerintah (yang lebih menginginkan stabilitas negara) dalam hal pembuatan aturan main, dan tentunya lebih berpihak pada pengusaha. Peraturan yang ada juga lebih mengacu pada stabilitas, sehingga nasib buruh tetap berada pada posisi inverior. Peraturan-peraturan Menteri Tenaga Kerja yang dirasa tidak sesuai dengan Perundang-undangan Perburuhan adalah:
a.Permen (Peraturan Menteri) No. 342/1986 tentang intervensi militer sebagai
perantara dalam perselisihan perburuhan.
b.Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi perselisihan perburuhan
supaya diselesaikan terlebih dulu dengan atasan langsung, sebelum lewat
perantara atau P4.
c.Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan UK (Unit Kerja) di perusahaan harus
melibatkan pengusaha.
d.Permen No. 04/1986 tentang pemberian ijin kepada majikan untuk merumahkan buruh
sewaktu-waktu tanpa menunggu P4.

Permen-permen itulah yang memicu gejolak masyarakat yang peduli terhadap masalah-masalah perburuhan, karena dirasakan sangat merugikan dan membatasi gerak buruh. Walaupun beberapa permen tersebut dicabut tahun 1993, tetapi dampaknya masih nampak dari tindakan-tindakan pengusaha, sehingga posisi, nasib dan kesejahteraan pekerja masih sangat memperihatinkan.

Memang, upah minimum regional (UMR), yang kemudian berubah menjadi UMP (Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten), terus mengalami kenaikan sesuai dengan perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat kesejahteraan buruh masih dibawah standar. Hal ini yang membuat eskalasi tuntutan dan demontrasi semakin meningkat khususnya yang dilancarkan oleh pekerja.

Di era reformasi, yang didahului dengan perpindahan kekuasaan dalam pemerintahan, serikat buruh tumbuh dengan subur sesuai dengan aspirasi dan tuntutan terhadap pembebasan. Hal tersebut merupakan konsekuensi diratifikasinya Konvensi ILO tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Berorganisasi. Konvensi tersebut memberi peluang yang seluas-luasnya untuk membentuk serikatburuh baru, sesuai dengan kehendak para pekerja/buruh dan dilarang adanya campur tangan dari pihak manapun.

Berkaitan dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni 1998, ILO mendeklarasikan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Deklarasi ini merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO untuk mengubah persepsi yang berkembang, seolah-olah ILO hanya mendukung kepentingan negara maju, sekaligus merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja dan perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan internasional. Deklarasi ILO tersebut bertujuan merekonsiliasi keinginan semua pihak dalam hubungan industrial, menggairahkan usaha-usaha nasional seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi, mengakomodir perbedaan kondisi lokal masing-masing negara, dan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun di pihak perusahaan, para pengusaha tidak dapat segera memenuhi standart perburuhan yang baru, disamping karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, juga karena mereka menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama berkaitan dengan pengeluaran sejumlah biaya 'siluman', yang tidak berhubungan dengan proses produksi. Selain itu persediaan tenaga kerja yang berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk tidak segera merespon tuntutan pekerja yang ada. 

Untuk keluar dari situasi ini, banyak negara, termasuk Indonesia, kemudian mengadopsi konsep Negara sejahtera (welfare state), yang sesungguhnya lahir sebagai respon atas depresi ekonomi 1935 dan Perang Dunia II. Landasan filosofisnya berbeda dengan Darwinisme Sosial tentang kapitalisme laissez-faire. Negara sejahtera berkeyakinan bahwa kesejahteraan individu merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak mungkin hanya tergantung dengan operasi pasar. Paradigma Filsosofis ini mengindikasikan pengakuan formal terhadap ekonomi mainstream yang menyatakan bahwa kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah minimum Kabupaten (UMK), para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, perlu dicarikan cara agar mereka mendapatkan pelayanan umum seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga melindunginya dari resiko sosial, ekses industrialisasi, ketidakmampuan dan pengangguran.

Negara Sejahtera tidak perlu mengajukan perubahan fundamental untuk merealisasikan tujuannya. Peran Negara yang lebih besar sudah dianggap cukup untuk menjalankan fungsi pasar secara sempurna dan memperbaiki ketidakadilan yang diciptakan kapitalisme laissez-fire.

Secara teori, target ini bisa dilaksanakan melalui enam langkah: regulasi, nasionalisasi, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi, dan full employment. Enam langkah tersebut di atas pada dasarnya mengakui adanya full employment, distribusi kekeyaan dan pendapatan secara adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Filosofi ini menuntut peranan negara dalam bidang ekonomi menjadi lebih aktif dibanding dengan paham kapitalisme laissez-fire, atau bahkan teori Keynes.

Dalam kondisi ini, negara diibaratkan sebagai wasit dalam permainan sepak bola. Ia tidak punya hak menendang atau memegang bola. Yang perlu dilakukan adalah agar permainan dalam sepak bola tersebut berjalan lancar dan tidak ada kecurangan.

Karena ketidakseimbangan supplay dan demand itulah, maka harga (upah) tenaga kerja di Indonesia sangat murah. Upah buruh ditetapkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hanya untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk Opportunity cost, tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di Indonesia faktor yang paling mempengaruhi pasar tenaga kerja masih upah, belum bergeser ke faktor selera, nilai pengalaman, atau faktor non materiil lainnya

Oleh karena itu sangat dimengerti jika buruh selalu menuntut perbaikan nasib. Tahun 2004 ada 103 kasus pemogokan yang melibatkan 44.280 tenaga kerja, sehingga menyebabkan hilangnya jam kerja sebanyak 462.624 jam

Data diatas merupakan fakta tak terbantahkan bahwa posisi buruh memang sangat sulit. Kaum buruh terus hidup dengan kesadaran tradisional, sementara mereka di hadapkan secara langsung dengan praktek-praktek diskursif dan hegemonisasi modal. Kapitalisme telah menjadi ideologi dominan. Ia membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran. Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada praktek kekerasan, penindasan dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani, dan kaum miskin kota). Ironisnya, karena fenomena ini menjadi tontonan keseharian, maka tidak lagi dilihat sebagi kejahatan, tetapi telah diterima sebagai kewajaran.

Masalah Perburuhan (perspektif islam)
Melihat paradigma perburuhan di Indonesia yang lebih menguntungkan modal dan menempatkan buruh pada posisi lemah, tidak salah jika Islam datang menawarkan sistem lain yang diharapkan menjadi alternatif. Ada beberapa alasan mengapa Islam harus mengampil peran. Antara lain, Islam sebagai agama komprehensif dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa menjadi alternatif terhadap dua ideologi besar yang sama-sama ekstrim, kapitalisme dan sosialisme. Hukum Islam sebagai konsep normatif yang bersifat operasional dalam Islam diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontemporer di bawah sistem kapitalisme.

Alasan lain adalah untuk melakukan pressure terhadap negara dengan landasasan teologis, agar penanganan masalah buruh tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan yang menjadi misi setiap agama. Oleh karenanya, Hukum Islam di abad modern ini diharapkan mampu berbicara banyak mengenai konsep perburuhan melalui penelusuran norma-norma Islam, dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam teks-teks nash mapun pengalaman historis masyarakat Islam.

Untuk meneropong isu hubungan industrial dengan kompleksitas persoalannya, mau tidak mau kita mesti melangkah ke persoalan yang lebih mendasar, yaitu paradigma perekonomian dalam Islam.Basis paradigmatik ekonomi Islam adalah keterkecukupan makhluk akan kebutuhannya

Data menunjukkan bahwa kekayaan alam yang disediakan Tuhan di bumi ini sebenarnya sangat mencukupi untuk sekedar memenuhi kebutuhan (bedakan dengan: keinginan) makhluk hidup yang melata di atasnya, tidak terkecuali umat manusia. Lebih-lebih dengan senjata ilmu dan teknologinya, umat manusia kini mampu mengeksplorasi kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi yang paling dalam sekalipun. Oleh sebab itu, apabila dalam kenyataannya, banyak orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dlarûri-nya, apalagi yang takmîli atau tahsîni, itulah bukan karena persoalan supply yang terbatas melainkan lebih karena distribusi yang terampas. Berdasar cara pandang ini, Ilmu Ekonomi Islam didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridla Allah. Ta'rif ini setidaknya telah mengakomodir tiga domein utama; [1] domein tata kehidupan [2] domein pemenuhan kebutuhan, dan [3] domein ridla Allah. Definisi ini juga sekaligus melengkapi pemikiran Monzer Kahf, Choudhuri, Mannan dan Marshall.

Konsisten dengan tiga domein ini, maka pola hubungan industrial belum sepenuhnya sejalan dengan idealisme Islam yang menghendaki adanya keadilan yang merata. Sebab, dalam fungsinya yang sebatas regulator, pemerintah sulit menjamin kesejahteraan warganya karena ia tidak mempunyai keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin, atau secara umum terhadap pemerataan keuntungan. Pemerintah memang telah berusaha mengatur upah minimum bagi buruh. Tapi sama sekali tidak menyentuh ‘upah maksimum’ yang dihasilkan oleh modal pengusaha. Sebagai misal, dari modal 1.000.000,- seorang pengusaha mendapatkan laba 1.500.000,. Berapa persenkah ia berhak mengambil keuntungan dari saham modalnya? Kalau buruh hanya diberi UMR, itu artinya selebihnya milik pengusaha, berapapun jumlahnya. Buruh hanya mendapatkan taraf kehidupan minimal, sementara pengusaha mendapatkan keuntungan maksimal. Dalam kondisi ini, maka penumpukan modal tidak akan terhindari.
Hal ini, disadari atau tidak, pada gilirannya dianggap turut bertanggung jawab atas kesenjangan pembagian kekayaan dan pendapatan secara mencolok, karena dalam perkembangannya, ia meningkatkan kekuasaan perusahaan, memonopoli harga, sistem produksi, kebebasan pasar, dan pengejaran keuntungan. Konsep ini, disadari atau tidak, telah membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.
Islam juga tidak sepakat dengan tawaran kepemilikan kolektif dari kaum sosialis, sebagai cara untuk meratakan kemakmuran warganya. Sebab hal itu akan berakibat pada dihapuskannya milik pribadi. Sekalipun skenario totaliter yang dituntun oleh konsep hak kolektif ini dapat membantu mengurangi pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak kekurangan‑kekurangan kapitalis lainnya, namun tidak berarti bebas dari keterbatasan‑keterbatasan, terutama soal insentif dan kebebasan pribadi. Di bawah komunisme, manusia sesungguhnya diasumsikan sebagai mesin yang tidak berperasaan.
Islam berposisi diantara kapitalis-sosialis yang hanya melihat manusia secara parsial. Islam tidak hanya mengakui hak milik pribadi, tetapi dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluas‑luasnya dan bermanfaat melalui lembaga‑lembaga yang didirikan dengan bimbingan moral universal.
Islam berkeyakinan bahwa kesejahteraan sosial merupakan sesuatu yang sangat penting. Kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya, bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Propinsi (UMP), para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin, tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahannya sendiri.
Oleh karena itu, perlu dicarikan formula agar mereka mendapatkan pelayanan umum; seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga melindunginya dari ekses industrialisasi seperti pencemaran lingkungan, terganggunya sistem sosial, pengangguran, dan sebagainya. Semua itu tidak mungkin terjadi jika pemerintah hanya berperan sebagai regulator.
Secara umum, prinsip hubungan industrial dalam Islam harus mengakomodir kepentingan buruh yang meliputi:
1.Hak mendapatkan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan kompetensinya.
2.Hak Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sesuai dengan pilihannya.
3.Hak Mendapatkan keselamatan, Kesehatan dan perlindungan kerja, terutama bagi
pekerja yang cacat, anak dan perempuan.
4.Hak melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya dengan tetap mendapatkan
upah.
5.Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
6.Hak mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.
7.Hak melakukan mogok kerja.

Ada banyak teori yang menjelaskan besaran dan jenis upah yang mesti diterima buruh. Antara lain adalah; 1] Teori Subsistensi 2] Teori Dana Upah. 3] Teori Marginal Productivity 4]. Teori Bargaining 5] Teori Daya Beli 6] Teori upah hukum alam

Konsepsi Islam tentang upah sesungguhnya hampir sama dengan Teori Marginal Productivity dan Teori Bargaining. Sebagaimana penjelasan di atas, teori marginal productivity menyatakan bahwa upah tenaga kerja didasarkan pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan menambah upah pekerja sampai batas pertambahan produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang diberikan pada mereka. Dengan cara ini, maka upah dapat ditentukan secara transparan, seksama, adil, dan tidak menindas pihak manapun. Setiap pihak mendapat bagian yang sah dari hasil usahanya, tanpa menzalimi pihak yang lain.

Setelah besaran upah berdasarkan produktivitas marjinal ketemu angkanya, kedua belah pihak kemudian melakukan bargaining berdasarkan perubahan umum tingkat harga barang dan biaya kebutuhan hidup, sehingga upah riil merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Islam selalu memotivasi untuk memberikan penjelasan (dan persetujuan) besaran upah dari kedua belah pihak.

Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah, tidak semata-mata pertimbangan produktivitas kerja, memang masalah tersendiri jika majikan memetaforakan tenaga kerja sebagai mesin. Akan tetapi, dengan pertimbangan surplus value dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima. Dalam konteks inilah Islam bisa menerima kehadiran Upah Minimum

Dengan demikian, dalam Islam, upah yang layak bukanlah semata-mata konsesi buruh-majikan, tetapi merupakan hak asasi yang dapat dipaksakan oleh kekuasaan negara. Majikan harus memberikan upah minimum yang bisa menutupi keperluan dasar hidup yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.

Rabu, 27 Mei 2009

Menggagas Ekonomi (yang) Berke-Tuhanan

Para ahli ekonomi, seperti semua spesialis, biasanya menderita semacam penyakit buta metafisik, yaitu beranggapan bahwa ilmu merekalah yang memiliki kebenaran yang mutlak dan yang tidak berubah-ubah, tanpa prasangka apapun.              Kalimat diatas merupakan pengutaraan di satu bab buku E.F Schumacher, Small is Beautiful (1973) yang berjudul ilmu Ekonomi Agama Budha, Schumacher mengemukakan besarnya pengaruh agama Budha dalam kehidupan ekonomi masyarakat Birma— sekarang Myanmar. Agama Budha mempunyai tiga fungsi yang mempengaruhi terhadap ethos kerja masyarakat Birma, yaitu: memberi kesempatan kepada orang untuk mengunakan dan mengembangkan bakatnya; agar bisa mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain  untuk melaksanakan tugas bersama; dan menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan  yang layak.   Lebih jauh dalam The New Burma (1954), Birma tidak melihat ada pertentangan antara nilai-nilai  keagamanaan dengan kemajuan ekonomi. Kesejahteraan spiritual bukanlah lawan kesejahteraan material, melainkan sekutu. Ekonomi Birma merupakan suatu—analogi—sistem ekonomi yang berke-Tuhanan. Suatu ekonomi yang memandang hakekat peradaban itu bukannya di dalam berlipatgandakan kebutuhan melainkan di dalam  “memurnikan”  watak manusia. Bersamaan dengan itu, kepribadian dibentuk  oleh kerja. Dan kerja, jika dilakukan  dengan selayaknya  di dalam kondisi kebebasan  dan martabat kemanusiaan, memberi “berkah” pada mereka yang mengerjakan  dan juga pada hasil kerja mereka. Filosof J.C Kumarappa dalam menanggapi fenomena ekonomi berke-Tuhanan ini dalam Economy of Permanence (1958), mengatakan bahwa kerja mengarahkan kehendak pribadi  ke jalan yang layak  dan mengekang sifat hewani yang ada di dalam  diri manusia dan menyalurkan melalui saluran-saluran  yang progresif. Kerja memberikan  latar belakang yang mulia kepada manusia untuk memperagakan skala nilai-nilai dan mengembangkan kepribadian.Manusia sebagai aspek dominan dalam mempengaruhi sistem perekonomiaan. Manusia sangat dipengaruhi oleh “semangat mengabdi” kepada Tuhan.. Karena sesama manusia sebagai “abdi” akan berupaya memposisikan manusia sebagaimana yang lainnya—mempunyai kemampuan sama sebagai sesama abdi. Maka manusia tidak punya kewajiban mempunyai semangat mengabdi—atau tidak mempunyai hak untuk memaksa manusia lain—kepada manusia lain, karena manusia sebagai pribadi (oknum) manusia berkewajiban bertanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan. Maka dari pengertian bagi pemilik modal (pengusaha) tidak dapat mengekploitasi tenaga kerja semata-mata satu biaya yang harus ditekan serendah atau tenaga kerja bekerja seenaknya karena akan mengingkari manusia atas kehendak Tuhan—dan berdosa dan berakibat tidak di-ridhoi Tuhan .                  Selain itumanusia sebagai abdi membawa pengertian, bahwa Tuhan memberikan manusia, alam semesta untuk digunakan dalam upaya mendekatkan kepada Tuhan. Maka manusia  merupaya memelihara alam sebagai bagian memelihara dirinya dihadapan Tuhan. Maka dalam keadaan ini kehidupan menjadi suatu sistem yang integral, satu dengan yang lain saling berhubungan yang menimbulkan pengaruh positif bagi kehidupan.Bertrand de Jouvenel dalam A Philosophy of Indian Economic Development (1958) mengemukakan pentingnya hubungan  manusia dengan Tuhan terhadap alam sebagai bagian dari ekosistem di masyarakat Indian  yang terdiri dari berbagai bentuk kehidupan. Oleh karena sifat merusak sumber daya alam tidak membuat manusia menjadi terlindungi.Back to Basic            Ekonomi yang berke-Tuhanan, memberikan dorongan moral bagi manusia sebagai sumber “penentu” perekonomian. Manusia sebagai penentu perekonomian sebenarnya pernah dikemukakan oleh ajaran kapitalis dan sosialis—sebelum dilembagakan. Dalam kapitalisme ini tercantum dalam buku The Moral Sentimen (1759) karya Adam Smith dan sosialis dalam The Manuscrips (1844)  Kark Mark. Kedua buku “humanis” ini yang “hilang” dari wacana publik sehingga menyebabkan timbulnya disparitas dalam maistrem perekonomian—terutama di Indonesia—kapitalis dan sosialisme. Bahkan kedua mainstrem ini timbul dari dua buku; the Wealth of Nation (1776) karya Adam Smith dan Das Capital (1867) karya Kark Mark, sesudah mengarang buku The Moral Sentimen dan  The Manuscrips.          Manusia sebagai aspek utama merupakan awal timbulnya perkembangan ilmu ekonomi maka aspek moral sangat berpengaruh. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aspek materi lebih dominan mengatur aspek manusia. Sehingga materi akhirnya menentukan kemanusian manusia, karena harga manusia ditentukan oleh berapa materi yang dihasilkan—dalam wacana Mark disebut alieanisasi. Pergeseran ini diakibatkan orientasi ekonomi sudah terlibat jauh dalam hitungan kuantitatif, inilah yang menjadikan bahan kritik Paul Ormerod dalam the Death of Economics (1994).  Keadaan ini berbeda dengan pada yang dikemukakan Schumacher dalam perekonomian Birma atau Mac Webber di Eropa tentang etika ProtestanMax Weber, dalam sebuah penelitian membuat kesimpulan dari masyarakat Protestan di Eropa yang akhirnya memunculkan buku yang cukup terkenal The  Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1905) menunjukkan bagaimana  masyarakat protestan lebih tinggi produktifitas kerjanya dibanding masyarakat Kristen—akhirnya ajaran protestan ini ‘dituduh’memberikan legitimasi bagi semangat kapitalisme  di dunia Barat abad 16,  walaupun pada awalnya kapitalime menunjukkan semangat berke-Tuhanan dari masyarakat Protestan. Semangat masyarakat Protestan ini dipengaruhi ajaran Calvin (Calvinisme) yang mempunyai dua dasar kerja yang penting; usaha dan upaya adalah alat untuk melawan  cobaan manusiawi sehari-hari; dan dunia sebagai satu-satunya panggung untuk memuja Tuhan, artinya kebesaran Tuhan akan berkembang melalui kerja manusia. (Paul Heiz Koesters, 1988). Ajaran Calvinis dianggap sama dengan ajaran Jabariyah yaitu paham yang sangat kuat percaya akan pada takdir. Aliran Calvinisme dan Jabariah mempunyai kemiripan, percaya predeterminisme takdir itu ternyata menimbulkan sikap-sikap mental yang tangguh (Dawan Rahardjo,1999). Kalau dalam istilah Lewis dalam Theory of Economic Growth kedekatan manusia terhadap Tuhan menimbulkan suasana ”asketis” atau Zuhud atau mengurangi hasrat berkonsumsi. Lebih jauh  Mac Webber mengatakan  karena kita tidak tahu takdir kita sendiri maka  kita masing-masing berusaha mendapatkan  takdir tersebut dan masing-masing berusaha  mendapatkan takdir  tersebut dan kemudian semacam keterpanggilan terhadap kita untuk melakukan  hal-hal yang istimewa, yang bersifat mengabdi. Dari sikap mengabdi itu tumbuh sikap sederhana, sikap jujur dan dan semua itu dilakukan untuk mendapatkan keseluruhan dari Tuhan. Menurut Herber McClosky dalam Amerika Ethos (1984), Mac Webber telah menunjukkan kapitalisme menuntut adanya naluri untuk meningkatkan  kekuasaan  atau kekayaan  serta hasrat menyalurkan naluri  ke dalam nilai-nilai konstruktif seperti investasi, perhitungan ekonomi yang matang, efisiensi, penghematan, pengendalian dalam mengunakan modal, ketaatan dalam memenuhi kontrak dan kerja keras dalam melaksanakan tugas. Akhir KallamEkonomi berke-Tuhanan, atau Tauhid ekonomi atau Teo-ekonomi. lebih melibatkan manusia pada urusan “diri sendiri” sebagai makhluk Tuhan. Keterlibatan ini yang akan mempengaruhi meningkatnya ethos kerja manusia dalam melakukan pemenuhan hidupnya. Semangat berke-Tuhanan secara normatif akan memberikan  wacana baru bagi manusia, manusia akan berupa menghindari dari persoalan amoral dan asosial bukan karena alasan manusia lain tetapi karena Tuhan.Ekonomi berke-Tuhanan bukanlah suatu kritik. Tetapi kritik atas kritik manusia terhadap suatu sistem perekonomian, bukan kritik kapitalisme dan sosialisme saja—karena ekonomi berke-Tuhanan tidak terlibat secara jauh dalam kelembagaan  Ia tidak memihak pada suatu sistem ekonomi. Karena pemihakan pada suatu sistem ekonomi akan mempengaruhi eksistensi ekonomi berke-Tuhanan,  sebagai “sistem lebih dari sistem”—karena ekonomi ke-Tuhan bukanlah sistem. Karena pemihakan ekonomi berke-Tuhanan akan menyebabkan eksistensi ekonomi Ke-Tuhanan sama dengan sistem yang lain (terlembaga)—kalau terdistorsi dalam realitanya akan kena kritik juga, berarti mendistorsi Tuhan Maha Benar. Ekonomi berke-Tuhanan adalah suatu ‘sistem” yang dibentuk oleh manusia yang berke-Tuhanan. Mengabdikan pekerjannya kepada Tuhan.


Oleh : Heri Sudarsono SE., M.Sc

Ekonomi Islam VS Ekonomi Kapitalis

Distribusi: Sebuah Kritik Ekonomi Islam Pada Kapitalisme


oleh: Asikin (Ekionomi syariah 06)

Pendahuluan

Fenomena distribusi dalam ekonomi merupakan salah satu masalah yang masih debatable. Belum ada solusi yang bisa membuat puas setiap pelaku ekonomi.Dalam sejarah ekonomi Masalah distribusi menciptakan system ekonomi baru yaitu Sosialis. Kaum sosialis –dengan pelopor utrama Marx- membongkar kebobrokan kapitalisme yang selalu berpihak pada pemilik modal dalam pola-pola distribusinya.


Sebenarnya bila ditilik lebih lanjut akar ketidakpuasan pola distribusi system kapitalisme disampaikan oleh David Riccardo. Ketika itu dia “menghianati” Adam Smith dan para pengikutnya dalam hal pemikiran ekonomi. Adam Smith dkk mengganggap bahwa konsen utama ilmu ekonomi adalah pada kekayaan Negara yaitu bagaimana membuat suatu Negara kaya dan makmur, dalam zaman kita sering diukur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.


Pola pikir Adam Smith dkk mengasumsikan bahwa kekayaan Negara akan berefek pada kekayaan rakyatnya sehingga ketika tingkat pertumbuhan ekonomi melaju kencang maka akan diikuti dengan kemakmuran warganya.Tapi ada yang dilupakan Smith yaitu ketika kemakmuran sudah ada, masalah selanjutnya adalah bagaimana distribusi akan kemakmuran itu sendiri. Hal inilah yang menjadi konsen dari Riccardo. Sedangkan Smith terlalu konsen pada pertumbuhan ekonomi dan membuat dia lupa pada langkah selanjutnya: distribusi.


Lantas dimanakah posisi ekonomi Islam?.

Ekonomi Islam-dengan diwakili oleh para pemikir Islam- muncul ke permukaan sebagai akibat dari Agama Islam yang sangat komplek. Selanjutnya para pemikir Islam ini bersinggungan dengan ide-ide kapitalisme dan menganggap system ini cacat.Kelumpuhan sistem kapitalisme adalah pada ketergantungan mutlak pada modal. Dalam kapitalisme, modal adalah sesuatu yang privat, sehingga bisa dimanfaatkan semau pemiliknya. Dengan modal kita bisa memperoleh keuntungan.Sehingga pola distribusunya tergantung pada modal.Bila punya modal besar maka porsi dalam distribusi pendapatan semakin besar pula.


Hal inilah yang dilihat secara kritis oleh pemikir kontemporer islam-seperti:Siddiqi,Naqvi, Kahf-. Mereka mendekonstruksi teori distribusi neoklasik dan memberikan beberapa solusi.Berangkat dari sini, esai ini disusun. Yaitu untuk menganalisis kritikan para pemikir kontemporer islam terhadap teori neoklasik.Penulis hanya membatasi pada pemikir kontemporer karena terbatasnya referensi pada pemikir islam klasik, dan karena rentang waktu yang cukup panjang dari kita. Semakin jauh rentang waktu, semakin berbeda masalah yang dihadapi.

Pembahasan akan dimulai dengan kritik terhadap teori distribusi pada sistem kapitalisme.


Distribusi : Mengapa harus ada??


Mengapa distribusi harus ada? Pertanyaan menggelitik yang harus dipecahkan sebelum membahasnya. Siddiqi berargumen bahwa raison d’etre distribusi adalah karena kepemilikan yang tidak seragam.Kepemilikan tidak akan pernah seragam sehingga akan berefek pada ketimpangan pendapatan, hal inilah yang menjadi legitimasi akan selalu adanya distribusi. Untuk itulah diperlukan campur tangan pemerintah untuk menjalankan fungsinya sebagai mediator distribusi.


Islam Menjawab Distribusi


Dalam sistem kapitalisme distribusi pendapatan tidak akan pernah merata alias akan selalu timpang. Karena proporsi akan pembagian distribusi pendapatan tergantung akan besarnya modal. Modal adalah sesuatu yang privat dan tidak boleh diregulasi. Sehingga hasilnya jelas siapa yang punya modal akan semakin kaya, yang tidak punya modal akan semakin papa hidupnya.Modal adalah sumber akan distribusi pendapatan.Modal adalah hak milik pribadi, pemerintah tidak punya hak untuk mengutik-utiknya.Itu dalam sistem Kapitalis.


Untuk itu ekonomi islam datang dan mengkritiknya. Dalam ekonomi Islam sumber pembagian distribusi harus merata terlebih dahulu, baru setelah itu rakyat bisa dibebaskan untuk bersaing. Modal harus dibagikan secara merata dan itu adalah peran pemerintah sebagai mediator distribusi.Dalam kapitalisme akses pemeratan distribusi pada modal awal sangat tidak tersentuh.


Ketika modal bisa merata terdistribusi maka persaingan bisa adil.Naqvi mencontohkan yaitu peran pemerintah yang harus tegas pada pengambilan pemilikan atas tanah. Pada zaman itu tanah adalah sumber pendapatan, ketika tanah hanya dimiliki oleh segelintir orang saja maka pendatan akan berputar pada segelintir orang pula. Ketika pembagian tanah(sumber pendapatan) merata maka itulah yang dinamakan keadilan distribusi.dan persaingan sempurna bisa diaplikasikan bila asumsi pemerataan sumber pendapatan bisa tercapai terlebih dahulu (Aslam Haneef:2006).


Pemikir ekonomi Islam kontemporer menyebut masalah diatas sebagai pre-production distribution. Ketika pre-production distribution tercapai maka distorsi ekonomi terhindari. Uang tidak akan berputar pada orang-orang kaya saja. Disinilah puncak dari ketimpangan seluruh distribusi pada sistem kapitalisme.


Contoh konkret dari akibat ketimpangan pre-production distribution yang akan berefek pada ketimpangan distribusi pendapatan adalah sebagai berikut:

”Si A termasuk orang yang kurang mampu karena ayahnya dan keluarganya adalah pengangguran. Untuk makan bisa besok saja Si A dan keluarga sudah sangat bersyukur. Beda dengan si B. Dia lahir dan berkembang dilingkungan keluarga pengusaha. Dia hidup sangat berkecukupan. Ketika Si B lulus SMA,melanjutkan jenjang pendidikan ke universitas ternama diluar negeri, ketika sudah menematkan kuliahnya Si B dengan mudah masuk ke lingkungan kerja yang bergaji tinggi. Sedangkan Si A yang malang, tidak bisa sekolah dan tentunya sulit mencari pekerjaan kalaupun dapat gajinya masih jauh dari kata cukup.


Dari deskripsi diatas, jelas bahwa yang membedakan Si A dan B adalah finansial keluarga sehingga membedakan keduanya dalam mendapatkan distribusi pendapatan. Salah satu sumber dari pendapatan zaman modern adalah pendidikan. Sehingga bila akses terhadap pendidikan tertutup maka pembagian distribusi pendapatan akan timpang pula. Bagi si B berpikir tentang makan esok hari saja sulit apalagi berkhayal tentang pendidikan yang tinggi.Tanpa pendidikan yang tinggi akan sulit untuk melakukan mobilisasi sosial keatas.


Dalam hal ini ekonomi Islam mengusulkan agar pemerintah menjamin kesubsistenan warganya dan dilanjutkan dengan menggratiskan pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu sumber bagi distribusi pendapatan.


Distribusi Awal Sejauh Mana? Tingkat Ketimpangan Yang Dimaafkan


Lantas sejauh manakah distribusi awal modal dilakukan??

Para pemikir Islam kontemporer masih berdebat-silih mengenai hal ini. Belum terselesaikan. Tapi setidaknya untuk memperjelas masalah maka harus dikonkritkan.Penulis mempunyai usul:

  1. Pemerintah membuat kebijakan pajak progresif atau juga melalui zakat, yang penting ada transfer pendapatan dari kaya ke si miskin

  2. Hasil dari pajak progresif di transfer kepada kaum papa yang sangat membutuhkan untuk melanjutkan hidupnya

  3. Menggratiskan pendidikan dan akses mudah terhadap fasilitas yang lainnya


Dengan begitu posisi kaum papa yang sebelumnya termarginalisasi bisa sedikit terangkat. Kebijakan diatas sangat menyudutkan orang kaya karena seperti terkuras haknya. Hal itu harus dilakukan pemerintah karena realitanya posisi pola distribusi saat ini sangat timpang dan memihak kaum kaya. Jadi pemerintah dalam niat baiknya untuk mengurangi ketimpangan harus memihak pada kaum papa.


Lantas sejauh mana ketimpangan dimaafkan?


Ketika hak-hak dasar untuk hidup kaum papa terpenuhi dan bisa menggapai pendidikan dengan akses yang mudah, maka selanjutnya yang berperan adalah pasar dalam mendistribusikan pendapatan. Pasar yang akan memilih pendapatan siapa/pola distribusi pendapatan. Sehingga ketika terjadi ketimpangan setelah pre-production distribution sudah tercapai, maka itu hal yang dibolehkan. Karena ketidakmerataan pendapatan yang terjadi pada saat itu adalah proses alamiah.


Kesimpulan Dan Penutup


Distribusi adalah masalah yang sangat vital dalam perekonomian. Tanpa distribusi pendapatan, barang hasil produksi tidak akan terbeli. Dan hasrat akan konsumsi tidak akan pernah tercapai karena tidak adanya alat tukar untuk barang konsumsi.Ketika tidak punya uang,bagaimana kita bisa membeli barang konsumsi??

Ekonomi Islam-melalui pemikir ekonomi islam kontemporer-telah mendekonstruksi teori distribusi kapitalisme, sesuatu yang sebelumnya belum disentuh telah dianggap sebagai sumber utama masalah pola distribusi pendapatan yang timpang.

Sumber pendapatan yang hanya bisa diakses oleh kaum kaya membuat dia satu-satunya yang minikmati kue distribusi pendapatan pada pesta yang bertajuk kapitalisme. Sehingga yang kaya-yang mempunyai modal banyak-semakin kaya dan yang miskin akan semakin papa.


Pre-production distribution itulah yang menjadi landasan kritik para pemikir ekonomi islam kontemporer terhadap distribusi kapitalisme. Solusi sudah diberikan tinggal bagaimana subjek pelaku ekonomi memainkan perannya apakah akan menjadi rational economicman yang membuat modal menjadi sesuatu yang privat sehingga ketimpangan distribusi akan terus terjadi atau menjadi Islamicman yang mencoba membawa kita pada keadaan yang berbeda.


Wallahu a’lam Bishawab.






Kepustakaan


Aslam, Mohamed Haneef.2006. Pemikiran ekonomi Islam Kontemporer:Analisis Komparatif Terpilih.Surabaya:Airlangga University Press


Djojohadikusumo, Sumitro.1991.Perkembagan Pemikiran Ekonomi.Jakarta :Yayasan Obor Indonesia


www.islamic-world.net/economics/muslim_scholars.htm


www.muslimphilosophy.com




Sabtu, 09 Mei 2009

BANK SYARIAH, YANG MASIH EKSIS DAN OPTIMIS DI SAAT KRISIS

Ana Toni Roby Candra Yudha (040610345)

I. PENDAHULUAN
 Hingga saat ini belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mengapa Indonesia bisa mengalami krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi tahun 1997. Belum juga sembuh total dari krisis tersebut, di semester dua tahun 2008 kita dikejutkan dengan kejadian yang lebih besar, yaitu krisis keuangan tingkat dunia dengan episentrum di Amerika Serikat. Pemicunya, subprime mortgage (kredit perumahan yang tidak layak) mengakibatkan banyak bank dan perusahaan di AS terpaksa menutup usahanya alias bangkrut. Seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, Merril Lynch, Morgan Stanley dan sebagainya. Dana sebesar US 700 miliar dolar mesti digelontorkan oleh pemerintah AS untuk mengatasi krisis tersebut. Lantas krisis ekonomi yang dialami dunia mengakibatkan perbankan konvensional saat ini dalam keadaan terpuruk, hal ini menjadikan perbankan Syariah sebagai solusi menghadapi krisis ekonomi. Perbankan syariah nasional dinilai kebal terhadap krisis karena tidak melakukan kegiatan bisnis yang mengundang risiko dan rentan terkena krisis. Bank syariah juga memiliki momentum untuk berkembang di tengah krisis. Menurut Ramzi, Direktur Perbankan Syariah BI, di penghujung 2008 terjadi krisis keuangan global yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di negara lain melambat, termasuk Indonesia. Namun, perekonomian nasional tetap tumbuh dibandingkan Malaysia minus tiga persen ataupun Singapura minus empat persen. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak terkena dampak langsung dari krisis yang disebabkan oleh kredit macet dari bank konvensional, karena sistemnya yang menggunakan konsep ekonomi islam. Dalam konsep ekonomi islam uang tidak identik dengan modal dan bunga kredit, sedangkan dalam konsep ekonomi konvensional uang identik dengan modal.
 Kondisi krisis tersebut berdampak pada perbankan yang mendorong terjadinya kesulitan likuiditas dan terjebak dalam bisnis spekulatif. Dalam keadaan krisis seperti yang terjadi pada saat ini, ekonomi syariah terutama pebankan syariah memiliki banyak keuntungan (struktural) sehingga jauh dari jangkauan krisis dari derivatif dan spekulatif. Ekonomi syariah juga melarang transaksi high risk dan kurang transparan dalam bisnisnya sehingga sangat kuat dari guncangan krisis, memiliki banyak keuntungan (struktural) sehingga jauh dari trigger krisis dari derivatif dan spekulatif. Ekonomi syariah juga melarang transaksi high risk dan kurang transparan dalam bisnisnya sehingga sangat kuat dari guncangan krisis. "Sebaiknya bank harus kembali ke basic, tidak perlu structured product yang berisiko. Jika benar-benar sistem ekonomi gunakan syariah tidak ada krisis. Kondisi ini menjadi momentum perkembangan industri perbankan syariah nasional," imbuh Ramzi.
 

II. LANDASAN TEORI
(1) Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
a) Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional (Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti tabungan, deposito berjangka, maupun produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat bunga tertentu) yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Martono, 2002)
b) Bank Syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan perjanjian yang berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana, pembiayaan, kegiatan usaha dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah.

III. PEMBAHASAN.
1). PERKEMBANGAN INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH SECARA GLOBAL
• Pertumbuhan industri keuangan syariah dapat dibedakan ke dalam tiga periode. Pertama adalah masa awal, saat seperempat abad lalu. Saat itu industri perbankan syariah berjalan berkat dedikasi dan ketekunan para stakeholder dan kesetiaan nasabah. Bank beroperasi melawan arus utama karena peraturan dan wacana hukum di kebanyakan negara murni konvensional. Kompetisi diantara bank konvensional pun cukup sengit.
• Periode kedua ditunjukkan dengan munculnya bank syariah baru dan berpengalaman. Generasi baru nasabah yang memerlukan layanan canggih, mengalihkan perhatiannya ke bank syariah. Nasabah baru memerlukan layanan perbankan berkualitas dengan biaya sedikit. Pada periode ini bank konvensional juga mulai membuka window syariah. Begitu pula dengan asosiasi bank konvensional internasional yang juga merambah manajemen aset syariah. 
 Untuk pertama kalinya sejumlah negara Asia maupun Timur Tengah mulai melihat bank syariah sebagai sektor strategis dengan negara lainnya, seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, Malaysia dan Indonesia, dengan mengembangkan blueprint yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri keuangan syariah. 
• Periode ketiga sudah dimulai dan mungkin tak disangka-sangka. Ini bermula saat arus globalisasi mempercepat proses perubahan struktural sektor perbankan di banyak negara.

2). PELUANG INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH DI TENGAH KONDISI KRISIS EKONOMI GLOBAL SAAT INI
 Krisis ekonomi global memberikan kesempatan strategis bagi perbankan syariah untuk menunjukkan pada dunia hal-hal apa saja yang dimilikinya. Singkatnya, pasar keuangan global membutuhkan produk keuangan inovatif yang didukung aktivitas ekonomi dan aset riil. Dan hal tersebut adalah kekuatan bank syariah. 
 Setidaknya ada lima hal yang menjadi peluang dan tantangan makro industri keuangan syariah. Kelimanya adalah peraturan yang mendukung, membentuk market linkages, instrumen-instrumen inovatif, kehadiran lembaga baru, dan menarik perjanjian bisnis yang prospektif. Kerja sama dan praktek perbankan syariah itu menghindari praktik ekonomi dan keuangan yang menyebabkan krisis keuangan global saat ini. Dalam mengerjakan bisnis syariah, yang dilakukan adalah kejujuran dan transparansi di seluruh transaksi, keadilan transaksi dan kompetisi tanpa adanya paksaan. 
 Beberapa bank telah menunjukkan pertumbuhan pesat dan inovatif, didorong tingginya permintaan pasar akan layanan dan produk bank syariah. Diantara bank tersebut adalah Bank Muamalat, yang menurut saya telah meraih pertumbuhan fenomenal dalam 10 tahun terakhir. Namun yang lebih penting adalah mempertahankan momentum yang sangat impresif ini.

3). PERTUMBUHAN PERBANKAN SYARIAH DITANDAI DENGAN PERKEMBANGAN BANK MUAMALAT YANG FENOMENAL
 Mempromosikan kerja sama bisnis yang saling menguntungkan dalam pembiayaan syariah yang ditawarkan bank dan lembaga keuangan lainnya telah menarik minat banyak pihak khususnya investor. Indikator kesuksesan Bank Muamalat, ditandai saat krisis kredit global terjadi sekitar tahun 1997-1998, saat terjadi krisis multidimensi. Bank Muamalat Indonesia memiliki FDR (financing deposit to ratio) diatas 70%. Banyak pihak juga yang tertarik akan keuangan syariah modern yang telah berusia empat dekade. Ratusan bank dan lembaga keuangan syariah pun sudah beroperasi baik di negara muslim maupun non muslim. Sistem keuangan syariah yang bersifat universal akhirnya menunjukkan kekuatannya di tengah krisis, setelah mengalami segala macam tantangan. sebuah bank syariah seperti Bank Muamalat dapat tetap beroperasi di tengah ketatnya kompetisi, diantara lebih dari 100 bank. Dengan sumber daya terbatas, Bank Muamalat juga berhasil melewati krisis keuangan Asia satu dekade lalu tanpa bantuan pemerintah. Dalam satu dasawarsa saja Bank Muamalat mencatat pertumbuhan laba 42 persen di tengah pergolakan ekonomi domestik, regional dan internasional, serta jatuhnya profit industri perbankan”.


IV. KESIMPULAN DAN MASUKAN
1) Saat ini, krisis yang disebabkan oleh faktor kapitalisme modern secara nyata telah membawa perekonomian dan keuangan ke arah kehancuran yang nyata. Harus diakui bahwa akar persoalan krisis ekonomi global adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel
2) Di saat krisis, kesuksesan bank syariah ini didapat karena para investor lebih nyaman jika menanamkan investasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah mengedepankan keadilan, menjauhi riba serta seluruh investasi dan produknya dilakukan secara etis dan bertanggunggung dari sisi sosial.
3) Ekonomi Syariah dapat menjadi solusi untuk mengatasi krisis keuangan global yang saat ini sedang menimpa seluruh masyarakat internasional, serta dapat menggerakkan perekonomian suatu negara, khususnya di Indonesia
 Dan masukan atau saran yang bisa diutarakan oleh penulis adalah meskipun pemerintah sudah cukup suportif dengan telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang mendukung. Diharapkan pemerintah tetap terus mendukung, dengan mempermudah aktifnya perbankan syariah dengan cakupan yang lebih luas, bahkan jika perlu sampai ke luar negeri. Kesempatan bagi industri perbankan syariah Indonesia untuk tumbuh telah ada dan perlu kerja sama untuk dapat mengembangkan perbankan syariah. Presiden Indonesia telah menyatakan dukungan dan itu sudah merupakan dukungan yang diperlukan telah diberikan. Kini saatnya bagi bank-bank syariah untuk bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah di Indonesia


V. DAFTAR PUSTAKA
 Al Qur’anun Kariim
 Abisorour, Ahmed. Republika Newsroom. 'Krisis Ini Momentum Bagi Perbankan Syariah' Selasa, 05 Mei 2009 pukul 13:52:00 
 Aziz, Shplehudin. Artikel. Krisis Global dan Peuang Bank Syariah.
 Yartiwulandari. Artikel. Apa yang Bisa Dilakukan Perbankan Dalam Menghadapi Krisis Global?
 Apa Yang Bisa dilakukan Perbankan Dalam Menghadapi Krisis _Blog Komunitas Perbankan
 http://www.seputar-indonesia.com diakses pada tanggal 3 Mei 2009 pukul 20.00 WIB